Ruang politik bangsa akhir-akhir ini dipenuhi dengan berbagai permainan kekuasaan yang liar, negosiasi ilegal, konsensus gelap, dan transaksi antar elit politik yang tidak transparan berdasarkan kepentingan jangka pendek mereka.
Penolakan pembentukan pansus hak angket terkait kasus mafia pajak
di DPR merupakan cerminan runtuhnya makna mufakat, koalisi, dan kontrak politik
dalam sistem politik bangsa yang mengancam masa depan roda demokrasi pemerintahan.
Ruang politik menjelma menjadi “pasar gelap politik”, di mana para
calo, tengkulak, pedagang kulit hitam, dan mafioso politik memainkan taktik dan
strategi profit taking dengan menyerang kepentingan publik.
Seperti halnya pasar gelap, berbagai keputusan politik-seperti hak
angket-dilakukan melalui negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi rahasia,
bahkan jika perlu melalui ingkar janji, pembelotan, dan pengkhianatan terhadap
teman sendiri-politik mafioso.
Di pasar gelap politik, terjadi berbagai kekerasan politik dalam
bentuk politik sandera: penyanderaan antar anggota Dewan, penyanderaan antar
anggota koalisi, sandera anggota Dewan dan eksekutif, dan sandera antar
eksekutif.
Politik penyanderaan semacam ini tidak hanya mengancam masa depan
pemerintahan, tetapi juga masa depan proses demokratisasi itu sendiri yang
semakin kehilangan semangat, substansi, dan maknanya.
1. Informalitas Politik
Pasar gelap politik tumbuh ketika kekuatan politik berdasarkan
sistem norma, konsensus, dan kontrak politik formal (contractual power) tidak
berjalan sehingga yang tumbuh adalah bola liar kekuatan informal (illegal
power) berdasarkan kompleksitas kepentingan dari individu, kelompok, dan masyarakat dengan mengabaikan segala bentuk kesepakatan, kompromi, dan konsensus
politik yang sah.
Di pasar gelap politik, keputusan politik tidak lagi dibuat
berdasarkan wacana politik rasional-yang digelar dalam ruang wacana politik
terbuka dan berdasarkan nalar politik yang sehat, sebagaimana dijelaskan
Habermas tetapi berdasarkan metode “kekerasan simbolik”: saling menyandera, saling menuduh, saling
mengancam, dan saling memboikot yang merusak akal sehat dan rasionalitas
politik.
Sistem politik yang demokratis hanya dapat berjalan jika relasi
kekuasaan dan transaksi politik dapat diukur, terlihat, transparan, terpercaya,
dan diawasi sehingga dapat dibatasi oleh sistem ketatanegaraan, bukan
“bola-bola kekuasaan yang liar” dan transaksi di pasar gelap politik
sebagai sedang terjadi sekarang.
Selain itu, sistem “representasi politik” juga harus bekerja
dengan menyalurkan berbagai kepentingan dan rasa keadilan publik dalam setiap
keputusan politik.
Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Norberto Bobbio dalam The
Future of Democracy (1987), ancaman terhadap demokrasi sebenarnya berasal dari
“demokrasi minimalisme”, yaitu tumbuhnya berbagai “kekuatan tak kasat mata” dan
ketidakefektifan sistem perwakilan politik, yang mengancam Rechtstaat.
Sebab, kekuatan konstitusi dalam mengatur keputusan politik justru
dikalahkan oleh kekuatan mafioso di pasar gelap politik.
Kekuasaan seolah-olah tidak mengancam masa depan demokrasi karena
merupakan bola liar yang melanggar seluruh norma, aturan, dan etika politik
dalam kondisi kekuasaan hukum tidak berdaya untuk mengatur transaksi politik.
Dengan demikian, berbagai bentuk mafia, premanisme, konspirasi,
komplotan rahasia, kudeta, dan organisasi ilegal lainnya tumbuh subur di pasar
gelap politik yang siap menerkam mangsanya kapan saja untuk kepentingan
politik.
Seperti yang dikatakan Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox
(2000), sistem perwakilan politik (demokrasi perwakilan) tidak berjalan karena dimanipulasi
oleh elit politik untuk kepentingan jangka pendek. Para wakil rakyat yang sebenarnya mewakili
suara rakyat kini sibuk membangun mufakat palsu dan berbagai transaksi
terlarang demi melayani dan melindungi kepentingan elit politik, bukan kepentingan
rakyat yang hanya menjadi objek wacana.
2. Sandera Demokrasi
Berlanjutnya budaya sandera, menguatnya kekuatan tak kasat mata,
penyimpangan sistem perwakilan politik, pengkhianatan kontrak, dan pembelotan
koalisi di pasar gelap politik mengancam tidak hanya keutuhan koalisi, tetapi
juga roda pemerintahan, penegakan hukum,
dan masa depan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang dibangun dengan berbagai pembelotan, ingkar janji,
dan pengkhianatan membuat segala bentuk kontrak sosial dan politik menjadi
tidak berarti.
Demokrasi dibangun oleh apa yang disebut Ernesto Laclau dalam
Emancipation(s) (2007) sebagai "penanda kosong". Koalisi, konsensus, dan kontrak politik
menjadi jargon kosong karena kesepakatan mereka tidak pernah dipraktikkan dan
dipatuhi.
Transaksi politik dan koalisi yang dibangun dalam pasar gelap
politik dengan struktur kekuasaan yang tidak transparan, tidak terukur, tidak
konsisten, tidak dapat dipercaya, dan tidak dapat dievaluasi menjadi bola liar
kekuasaan yang arahnya sulit diprediksi.
Struktur pemerintahan yang dibangun oleh koalisi yang rapuh, tidak
konsisten dan tidak saling percaya ini akan mengancam kelangsungan semua
keputusan politik dan hukum di masa depan.
Pemberlakuan hak angket dan penolakannya oleh kelompok
legislatif—bukan untuk motif pengungkapan keadilan, tetapi untuk membersihkan
nama elit politik mereka—menciptakan budaya politik penyanderaan yang mengancam
penegakan hukum di masa depan karena siapa pun bisa menjadi keduanya. sandera dan sandera.
Hukum menjadi “pasar gelap legal”, ketika keadilan disandera oleh
kepentingan elit politik. Rechtsstaat
menjadi Mafiastaat.
Ketika kontrak politik dicurangi, konsensus politik dikhianati,
koalisi ditumbangkan, hukum disandera, keadilan dibungkam, fungsi perwakilan
dimanipulasi, dan kekuasaan disalahgunakan, dalam beberapa tahun ke depan
demokrasi itu sendiri disandera.
Demokrasi sebagai cara mengembangkan rasionalitas politik berdasarkan prinsip keterbukaan, transparansi, dan kepercayaan kehilangan semangatnya karena di pasar gelap politik tidak ada lagi prinsip kepercayaan karena tidak ada orang lain yang bisa dipercaya. Sumber: (Yasraf Amir Piliang* KOMPAS, 27 Februari 2011/gado-gadosangjurnalis.blogspot.com).
0 Komentar