Mereka menyebut diri mereka To Ugi atau orang atau pengikut La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan saudara dari Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan total kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading
Opunna Ware (Yang di Ware) adalah cerita yang terdapat dalam karya sastra I La
Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan. Komunitas-komunitas
ini kemudian mengembangkan budaya, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka
sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik
antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.
Meski
tercerai-berai dan membentuk suku Bugis, proses perkawinan tersebut
menghasilkan ikatan darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini suku Bugis tersebar di beberapa
kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar
adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Kepulauan Pangkajene. Daerah peralihan antara Bugis dan Mandar
adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan
Luwu merupakan kerajaan yang dianggap paling tua bersama dengan kerajaan Cina
(yang kemudian menjadi Pammana), Mario (kemudian bagian dari Soppeng) dan Siang
(suatu daerah di Kepulauan Pangkajene).
Manurung dikenal sebagai Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja kecil mengangkat Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan
legislatif yang dikenal sebagai ade pitue.
Kerajaan
Makassar Pada abad 12, 13, dan 14 kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo
berdiri, yang dimulai dengan krisis sosial, di mana orang saling memangsa
seperti ikan. Kerajaan Makassar kemudian
terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Namun
dalam perkembangannya, kerajaan kembar ini kembali bersatu menjadi kerajaan
Makassar. Kerajaan Soppeng Ketika
terjadi kekacauan, dua orang To Manurung muncul di Soppeng. Pertama, seorang wanita yang dikenal sebagai
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki bernama La
Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau.
Akhirnya
kedua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaan Soppeng. Kerajaan Wajo Sedangkan Kerajaan Wajo berasal
dari komune dari berbagai penjuru yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng
dipimpin oleh seorang yang memiliki kesaktian bernama puangnge ri
Lampulung. Setelah kematiannya, komune
pindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan
supranatural. Kedatangan Lapaukke
seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa waktu kemudian, kemudian
membangun kerajaan Cinnotabi. Selama
lima generasi, kerajaan ini bubar dan Kerajaan Wajo terbentuk.
Konflik
Antar Kerajaan Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan
Soppeng dan Wajo mulai muncul, terjadi konflik perbatasan dalam mengendalikan
dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa
di Bulukumba. Sementara di utara, Bone
bertemu Luwu di Sungai Walennae.
Sementara itu, Wajo perlahan memperluas wilayahnya. Sementara itu Soppeng meluas ke barat hingga
mencapai Barru. Perang antara Luwu dan
Bone dimenangkan oleh Bone dan Luwu kemudian membuat kerajaan mereka menjadi
saudara. Sungai Walennae merupakan jalur
ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone.
Untuk
mempertahankan posisinya, Luwu membentuk aliansi dengan Wajo, dengan menyerang
beberapa wilayah Bone dan Sidenreng.
Selanjutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai oleh
Wajo melalui penaklukan atau penggabungan.
Wajo lalu bergesekan dengan Bone.
Invasi Gowa kemudian merebut beberapa wilayah Bone dan menaklukkan Wajo
dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni
Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membentuk aliansi yang disebut
“tellumpoccoe”.
Penyebaran
Islam Pada awal abad ke-17, lembaga penyiaran Islam datang dari Minangkabau
atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan
Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) yang menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin
Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyebarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme Belanda Pada pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan sengit antara Gowa dan VOC yang mengakibatkan beberapa pertempuran. Sementara itu Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan perlawanan yang dipimpin oleh La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaan kecil Makassar yang tidak mau berada di bawah Gowa. Sedangkan Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu hancur. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan
Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa merupakan proses
rekonsiliasi atas konflik di semenanjung Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak ada lagi perang besar
sampai kemudian pada tahun 1905-6 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng
Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone padam, orang
Bugis-Makassar hanya bisa benar-benar ditaklukkan oleh Belanda. Ketiadaan kepemimpinan lokal mengakibatkan
Belanda mengeluarkan Korte Veklaring, kesepakatan singkat tentang pengangkatan
raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang kosong setelah penaklukan.
Kerajaan
itu tidak lagi berdaulat, tetapi hanya perpanjangan kekuasaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, hingga muncul Jepang, menggeser Belanda hingga
berdirinya Republik Indonesia. Masa
Kemerdekaan Raja-raja nusantara sepakat untuk membubarkan kerajaannya dan
bergabung ke dalam NKRI. Pada
1950-1960-an, Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan, disibukkan dengan
pemberontakan.
Pemberontakan
ini menyebabkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada masa Orde Baru, budaya pinggiran seperti
di Sulawesi benar-benar terpinggirkan dan semakin terkikis. Kini generasi muda Bugis-Makassar merupakan
generasi yang lebih banyak mengkonsumsi budaya material akibat modernisasi,
kehilangan jati dirinya akibat pola pendidikan Orde Baru yang meminggirkan
budayanya.
Seiring
dengan arus reformasi, muncul wacana pemekaran.
Daerah Mandar membentuk provinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terbagi menjadi tiga daerah
tingkat dua. Sementara itu, banyak
kecamatan dan desa/kelurahan yang juga dimekarkan. Namun sayangnya lahan tersebut tidak semakin
luas, justru semakin menyempit akibat pertambahan penduduk dan transmigrasi.
Mata
pencaharian masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir
pantai, sehingga sebagian besar masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan
nelayan. Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah berdagang.
Selain itu, masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan
menempuh pendidikan. Bugis Luar Negeri
Keahlian orang Bugis-Makassar dalam mengarungi lautan sudah dikenal luas, dan
wilayah luar negeri mereka meluas ke Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar, dan Afrika Selatan.
Bahkan,
di pinggiran Cape Town, Afrika Selatan, ada sebuah pinggiran kota bernama
Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah leluhur mereka. Penyebab Migrasi Konflik antara kerajaan
Bugis dan Makassar serta konflik antara kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan
19, menyebabkan wilayah Sulawesi Selatan menjadi gelisah.
Hal
ini menyebabkan banyak orang Bugis yang merantau, terutama di daerah
pesisir. Selain itu, budaya merantau
juga didorong oleh keinginan untuk merdeka.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat dicapai melalui
kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan
Pada abad ke-17 seorang pemimpin suku Bugis mendatangi raja Banjar yang
berdomisili di Kayu Tangi (Martapura) untuk diizinkan mendirikan pemukiman di
Pagatan, Tanah Bumbu. Raja Banjar
memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja
Pagatan.
Sekarang
sebagian besar orang Bugis tinggal di pantai timur Kalimantan Selatan, yaitu
Tanah Bumbu dan Kota Baru. Bugis di
Sumatera dan Semenanjung Malaysia Setelah kerajaan Gowa dikuasai oleh VOC pada
pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki
jabatan di kerajaan Gowa bersama dengan orang Bugis lainnya meninggalkan
Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Di sini mereka juga terlibat dalam perjuangan
politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga
saat ini, banyak raja di Johor yang keturunan Bugis. (Sumber: pusatdata.wajokota.go.id)
menamai diri mereka sendiri, mereka
mengacu pada raja mereka.
Sawerigading
Opunna Ware (Yang di Ware) adalah cerita yang terdapat dalam karya sastra I La
Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan. Komunitas-komunitas
ini kemudian mengembangkan budaya, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka
sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik
antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.
Meski
tercerai-berai dan membentuk suku Bugis, proses perkawinan tersebut
menghasilkan ikatan darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini suku Bugis tersebar di beberapa
kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar
adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Kepulauan Pangkajene. Daerah peralihan antara Bugis dan Mandar
adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan
Luwu merupakan kerajaan yang dianggap paling tua bersama dengan kerajaan Cina
(yang kemudian menjadi Pammana), Mario (kemudian bagian dari Soppeng) dan Siang
(suatu daerah di Kepulauan Pangkajene).
Manurung dikenal sebagai Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja kecil mengangkat Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan
legislatif yang dikenal sebagai ade pitue.
Kerajaan
Makassar Pada abad 12, 13, dan 14 kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo
berdiri, yang dimulai dengan krisis sosial, di mana orang saling memangsa
seperti ikan. Kerajaan Makassar kemudian
terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Namun
dalam perkembangannya, kerajaan kembar ini kembali bersatu menjadi kerajaan
Makassar. Kerajaan Soppeng Ketika
terjadi kekacauan, dua orang To Manurung muncul di Soppeng. Pertama, seorang wanita yang dikenal sebagai
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki bernama La
Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau.
Akhirnya
kedua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaan Soppeng. Kerajaan Wajo Sedangkan Kerajaan Wajo berasal
dari komune dari berbagai penjuru yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng
dipimpin oleh seorang yang memiliki kesaktian bernama puangnge ri
Lampulung. Setelah kematiannya, komune
pindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan
supranatural. Kedatangan Lapaukke
seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa waktu kemudian, kemudian
membangun kerajaan Cinnotabi. Selama
lima generasi, kerajaan ini bubar dan Kerajaan Wajo terbentuk.
Konflik
Antar Kerajaan Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan
Soppeng dan Wajo mulai muncul, terjadi konflik perbatasan dalam mengendalikan
dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa
di Bulukumba. Sementara di utara, Bone
bertemu Luwu di Sungai Walennae.
Sementara itu, Wajo perlahan memperluas wilayahnya. Sementara itu Soppeng meluas ke barat hingga
mencapai Barru. Perang antara Luwu dan
Bone dimenangkan oleh Bone dan Luwu kemudian membuat kerajaan mereka menjadi
saudara. Sungai Walennae merupakan jalur
ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone.
Untuk
mempertahankan posisinya, Luwu membentuk aliansi dengan Wajo, dengan menyerang
beberapa wilayah Bone dan Sidenreng.
Selanjutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai oleh
Wajo melalui penaklukan atau penggabungan.
Wajo lalu bergesekan dengan Bone.
Invasi Gowa kemudian merebut beberapa wilayah Bone dan menaklukkan Wajo
dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni
Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membentuk aliansi yang disebut
“tellumpoccoe”.
Penyebaran
Islam Pada awal abad ke-17, lembaga penyiaran Islam datang dari Minangkabau
atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan
Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) yang menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin
Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyebarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme Belanda Pada pertengahan abad
ke-17, terjadi persaingan sengit antara Gowa dan VOC yang mengakibatkan
beberapa pertempuran. Sementara itu
Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan perlawanan yang dipimpin oleh La
Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka.
Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaan kecil Makassar yang tidak
mau berada di bawah Gowa. Sedangkan
Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung
Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu.
Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu hancur. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya
Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan
Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa merupakan proses
rekonsiliasi atas konflik di semenanjung Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak ada lagi perang besar
sampai kemudian pada tahun 1905-6 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng
Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone padam, orang
Bugis-Makassar hanya bisa benar-benar ditaklukkan oleh Belanda. Ketiadaan kepemimpinan lokal mengakibatkan
Belanda mengeluarkan Korte Veklaring, kesepakatan singkat tentang pengangkatan
raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang kosong setelah penaklukan.
Kerajaan
itu tidak lagi berdaulat, tetapi hanya perpanjangan kekuasaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, hingga muncul Jepang, menggeser Belanda hingga
berdirinya Republik Indonesia. Masa
Kemerdekaan Raja-raja nusantara sepakat untuk membubarkan kerajaannya dan
bergabung ke dalam NKRI. Pada
1950-1960-an, Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan, disibukkan dengan
pemberontakan.
Pemberontakan
ini menyebabkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada masa Orde Baru, budaya pinggiran seperti
di Sulawesi benar-benar terpinggirkan dan semakin terkikis. Kini generasi muda Bugis-Makassar merupakan
generasi yang lebih banyak mengkonsumsi budaya material akibat modernisasi,
kehilangan jati dirinya akibat pola pendidikan Orde Baru yang meminggirkan
budayanya.
Seiring
dengan arus reformasi, muncul wacana pemekaran.
Daerah Mandar membentuk provinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terbagi menjadi tiga daerah
tingkat dua. Sementara itu, banyak
kecamatan dan desa/kelurahan yang juga dimekarkan. Namun sayangnya lahan tersebut tidak semakin
luas, justru semakin menyempit akibat pertambahan penduduk dan transmigrasi.
Mata
pencaharian masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir
pantai, sehingga sebagian besar masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan
nelayan. Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah berdagang.
Selain itu, masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan
menempuh pendidikan. Bugis Luar Negeri
Keahlian orang Bugis-Makassar dalam mengarungi lautan sudah dikenal luas, dan
wilayah luar negeri mereka meluas ke Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar, dan Afrika Selatan.
Bahkan,
di pinggiran Cape Town, Afrika Selatan, ada sebuah pinggiran kota bernama
Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah leluhur mereka. Penyebab Migrasi Konflik antara kerajaan
Bugis dan Makassar serta konflik antara kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan
19, menyebabkan wilayah Sulawesi Selatan menjadi gelisah.
Hal
ini menyebabkan banyak orang Bugis yang merantau, terutama di daerah
pesisir. Selain itu, budaya merantau
juga didorong oleh keinginan untuk merdeka.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat dicapai melalui
kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan
Pada abad ke-17 seorang pemimpin suku Bugis mendatangi raja Banjar yang
berdomisili di Kayu Tangi (Martapura) untuk diizinkan mendirikan pemukiman di
Pagatan, Tanah Bumbu. Raja Banjar
memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja
Pagatan.
Sekarang
sebagian besar orang Bugis tinggal di pantai timur Kalimantan Selatan, yaitu
Tanah Bumbu dan Kota Baru. Bugis di
Sumatera dan Semenanjung Malaysia Setelah kerajaan Gowa dikuasai oleh VOC pada
pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki
jabatan di kerajaan Gowa bersama dengan orang Bugis lainnya meninggalkan
Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Di sini mereka juga terlibat dalam perjuangan
politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga
saat ini, banyak raja di Johor yang keturunan Bugis. (Sumber: pusatdata.wajokota.go.id)
0 Komentar